Slideshow

13 Des 2010

Mengembangkan Imajinasi dalam Pendidikan

IMAJINASI dalam proses pendidikan sebenarnya sangat penting untuk dimiliki peserta didik. Meskipun demikian aspek ini banyak diabaikan oleh para pendidik dan guru kita dalam proses belajar-mengajar.
Mengapa imajinasi itu penting? Karena dengan imajinasi orang akan melahirkan sebuah konsep, kreatifitas, inovasi maupun perilaku yang actual dalam kehidupannya. Bahkan semua karya teknologi di dunia ini lahir selalu melalui proses imajinasi oleh para inventornya (penemunya-red). Bill Gates konon kerjanya bermimpi dan berimajinasi. Kemudian dia meminta para ahli yang dipekerjakannya untuk menerjemahkan mimpi dan imajinasinya itu ke dalam berbagai bentuk software komputer yang saat ini banyak membuat kita tergantung padanya.
Begitu juga rudal penghancur rudal sebelum mengenai sasaran, Patriot, merupakan hasil imajinasi Presiden Ronald Reagan ketika dia melihat serial film TV Star Wars. Dia pernah berpidato agar suatu saat Amerika memiliki sistem persenjataan mirip seperti star wars. Imajinasi dalam pidatonya itu akhirnya diberi dukungan politik oleh kongres, dan akhirnya juga didukung oleh riset di berbagai pusat penelitian. Hasilnya senjata perang ampuh; Patriot, sebuah peluru kendali yang bisa menjemput peluru kendali lain untuk ditaklukkan agar tidak mengenai targetnya. Begitu juga sistem suspensi mobil yang terkenal dan mahal, Lexus. Juga terlahir karena inventornya ketika menjenguk sahabatnya di rumah sakit mengetahui anak kecil melompat dari meja yang cukup tinggi dan jatuhnya amat indah, tidak oleng dan tidak terjungkal. Dari kejadian itu, inventor suspensi mobil mahal itu berimajinasi agar dia bisa menciptakan sistem suspensi yang empuk, stabil, aman dan nyaman dikendarai meski di jalan yang bergelombang tajam.
Karena pentingnya imajinasi itu, kita harus bisa menanamkannya pada anak-anak kita. Banyak cara yang bisa dilakukan. Di tingkat keluarga, melalui pendidikan informal, kita bisa memberi cerita kepada anak-anak kita sebelum tidur dengan berbagai cerita yang memiliki muatan moral, teknologi, kecakapan sosial, dan sebagainya. Dengan cerita yang mengesankan, anak-anak kita mulai membangun kesan dalam pikirannya yang akhirnya mampu membuat imajinasi kehidupan dalam alam pikirannya. Di negara-negara maju anak-anak dan juga siswa sekolah memang dengan sengaja dibangkitkan imajinasinya melalui berbagai program pembelajaran, baik yang bersifat intra maupun ekstra kurikuler. Dalam proses pembelajaran anak-anak usia sekolah dasar di kelas awal sudah mulai diperkenalkan berfikir imajinatif dan hipotetik dengan mengajak anak-anak untuk membangun cerita baik tertulis maupun lisan menganai apa yang terjadi 50 tahun yang akan datang di lingkungan keluarga mereka masing-masing. Setelah itu, mereka dibawa ke skopa yang lebih luas dan lebih dalam untuk berimajinasi mengenai misalnya: Apa yang terjadi bagi sistem demokrasi mereka 50 tahun yang akan datang? Apa yang akan terjadi pada sistem internet 50 tahun yang akan datang? Apa yang akan terjadi pada negara 50 tahun yang akan datang? Atau kalau mereka yang senang kehidupan seni, bisa diajak berimajinasi tentang apa yang akan terjadi pada trend lagu-lagu pop 50 tahun yang akan datang dan sebagainya.
Agar anak kita banyak memiliki imajinasi, kita bisa melakukan hal yang serupa dengan muatan-muatan yang kontekstual dengan lingkungan dan tantangan hidup mereka. Anak-anak kita dapat diajak berimajinasi mengenai apa yang terjadi, tidak usah terlalu jauh 50 tahun yang akan datang, tetapi cukup diajak berimajinasi pada tataran yang lebih pendek, 10 tahun misalnya, mengenai apa yang terjadi: setelah pemilu 2009; nasib penjual barang di pasar tradisional; lapangan kerja bagi tamatan sekolah; model pakaian; model HP; banyaknya motor di jalan dengan berbagai implikasinya; alternatif bahan bakar, bahkan bisa diajak berimajinasi mengenai bagaimana prestasi sekolah mereka 10 tahun yang akan datang.
Karena pentingnya imajinasi dalam proses pendidikan, pesawat ulang alik Amerika, Endeavor, yang telah balik ke Bumi tahun lalu juga telah sukses mengikutsertakan seorang guru, Barbara Morgan. Ketika di luar ruang angkasa Barbara membuat atraksi pembelajaran jarak jauh dalam arti yang sebenarnya dengan para siswa di Dicovery Center, di negara bagian Idaho. Dari ruang pesawat ulang alik Endeavor, Barbara menjawab berbagai pertanyaan imajinatif para siswa: bagaimana cara minum para astronot, bagaimana kecepatan bola base ball ketika dilempar tanpa ada gravitasi bumi, bagaimana mereka semua melakukan aktivitas sehari-hari dan sebagainya.
Sebenarnya tidak kali ini saja pesawat ulang alik Amerika mengikutsertakan guru untuk mengembangkan virus imajinasi di tengah-tengah para peserta didik. Bahkan sejak tahun 1986, seorang guru, Christa Mc Auliffe, juga telah dikirim ke luar angkasa dengan pesawat ulang alik Challenger, juga untuk membangun dan menyebarkan ‘virus’ imajinasi. Tetapi naas nasibnya, karena pesawat itu meledak sebelum kembali ke Bumi. Semangat Amerika untuk membangun imajinasi bagi siswa memang tak kunjung padam.
Bahkan NASA memiliki misi khusus untuk mengikutsertakan guru dalam penerbangan luar angkasanya, yaitu agar mampu membangkitkan imajinasi jutaan orang di seluruh dunia.
Itulah penting dan mahalnya sebuah imajinas. Sebenarnya kitapun bisa membangkitkan imajinasi anak-anak dan siswa kita dengan cara yang sangat murah dan efektif melalui proses pembelajaran di sekolah dan pendidikan informal di rumah.

Oleh: Prof. Suyanto, Ph.D
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar & Menengah (Dirjen Mandikdasmen)

Sumber: Majalah Info Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Edisi III tahun 2009.

Memahami Bencana Alam

Bencana alam yang mendera, berbagai peristiwa yang memporak-porandakan umat manusia, makin membuka mata bahwa kita, manusia tidak punya kuasa apa pun. Namun, harus kita yakini bahwa Allah SWt pun tidak mungkin menjatuhkan bencana sekecil atau sedahsyat apa pun jika manusia itu tidak berperilaku buruk. Sebenarnya, manusialah yang menjadi penyebab terjadinya berbagai bencana di muka bumi ini. Temuan investigasi Komnas HAM (Hak Asasi Manusia) menyebutkan, banjir bandang Wasior misalnya, akibat human error (kesalahan manusia) karena terjadi eksploitasi besar-besaran atas tanah di daerah tersebut. Yaitu aktivitas penambangan yang tak memandang pesoalan ekologis.
Anehnya, masih ada pihak-pihak termasuk presiden SBY sendiri yang menganggap hal itu hanya sebatas bencana alam biasa atau faktor alam an sich. Entah karena alas an politis atau apa pun, seakan menutup mata atas keadaan di tanah Papua yang benar-benar telah dieksploitasi secara hebat karena terjadi penambangan yang cukup masif dan destruktif oleh korporasi asing atau manusia-manusia yang tak bertanggung jawab.
Masyarakat pun kadang melihat bahwa bencana alam itu terjadi atas kehendak Allah SWT yang dalam istilah teologis, keyakinan semacam itu disebut sebagai masyarakat agamis yang menggariskan sesuatu berdasarkan paksaan Tuhan (Jabbariyah). Mereka meyakini bahwa Allah murka kepada penduduk negeri yang di dalamnya terdapat orang-orang yang rajin dan pandai membuat serta memelihara dosa-dosa. Keyakinan semacam itu jelas berbahaya karena Allah akan dipersalahkan sebagai biang dari segala bencana di dunia. Dalam bahasa Gottfried Leibniz (Roth, 2003: 151), Tuhan di situ seakan-akan menjadi terdakwa (blaming the God) karena terjadinya bencana. Padahal, Tuhan tak sepantasnya dipersalahkan sebab kemuliaan dalam eksistensi-Nya tak terpengaruh dengan adanya dosa-dosa atau kebaikan-kebaikan manusia di dunia. Manusialah yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia (blaming the men).
Dalam menjelaskan masalah bencana ala mini, mestinya masyarakat lebih menekankan pada teologi qodariyah, yaitu bahwa manusia diberi kehendak untuk berbuat sebebas-bebasnya tetapi manusia juga harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang sudah diperbuatnya. Oleh karena itu, jika terjadi bencana alam sebetulnya itu merupakan cermin seakan-akan Allah mempertanyakan sudah berbuat dan bertindak apa saja manusia di bumi ini.
Hasan Hanafi dalam karyanya Religion, Ideology and Developmentalism (1990) menawarkan apa yang dikenal sebagai teologi untuk memperlakukan bumi. Bagaimana semestinya bumi diperlakukan? Menurut Hanafi, bumi merupakan ciptaan Allah yang harus dikelola manusia secara baik dan benar.
Tak ada satu pun manusia yang sesungguhnya mengklain memiliki barang sejengkal pun terhadap bumu karena bumi ini milik-Nya. Oleh karena itu, tak dibenarkan jika manusia menjadi arogan ketika merasa memiliki tanah di bumi, seperti aktivitas penambangan yang eksploitatif, pengeboran atas kekayaan perut bumi yang semena-mena, pengerukan pasir laut dalam skala yang cukup besar, penggundulan hutan dan lain sebagainya. Segala tindakan dan perbuatan manusia itulah yang kemudian lambat laut akan membuat alam menjadi murka sehingga fenomena bencana alam tak bisa dihindarkan. Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surat Ar-Rum: 41:
“Kerusakan di darat dan di laut yang tampak disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Maka, sebagai akibat dari perbuatannya (datanglah bencana) supaya manusia merasakan sebagian dari ulah dan perbuatannya agar mereka kembali ke jalan yang benar.”

Ditulis Oleh: Sultoni, S.Pd.I.
Pengajar di Ponpes Darul Mujahadah(Alumni Perdana Ponpes Darul Mujahadah, Alumnus ISID Gontor 2003

8 Des 2010

Motto Pondok

Pendidikan PONDOK PESANTREN DARUL MUJAHADAH menekankan pada pembentukan pribadi mukmin muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas. Kriteria atau sifat-sifat utama ini merupakan motto pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor.

1. Berbudi tinggi
Berbudi tinggi merupakan landasan paling utama yang ditanamkan oleh Pondok ini kepada seluruh santrinya dalam semua tingkatan; dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Realisasi penanaman motto ini dilakukan melalui seluruh unsur pendidikan yang ada.

2. Berbadan Sehat
Tubuh yang sehat adalah sisi lain yang dianggap penting dalam pendidikan di Pondok ini. Dengan tubuh yang sehat para santri akan dapat melaksanakan tugas hidup dan beribadah dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan kesehatan dilakukan melalui berbagai kegiatan olahraga, dan bahkan ada olahraga rutin yang wajib diikuti oleh seluruh santri sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.

3. Berpengetahuan Luas
Para santri di Pondok ini dididik melalui proses yang telah dirancang secara sistematik untuk dapat memperluas wawasan dan pengetahuan mereka. Santri tidak hanya diajari pengetahuan, lebih dari itu mereka diajari cara belajar yang dapat digunakan untuk membuka gudang pengetahuan. Kyai sering berpesan bahwa pengetahuan itu luas, tidak terbatas, tetapi tidak boleh terlepas dari berbudi tinggi, sehingga seseorang itu tahu untuk apa ia belajar serta tahu prinsip untuk apa ia manambah ilmu.

4. Berpikiran Bebas
Berpikiran bebas tidaklah berarti bebas sebebas-bebasnya (liberal). Kebebasan di sini tidak boleh menghilangkan prinsip, teristimewa prinsip sebagai muslim mukmin. Justru kebebasan di sini merupakan lambang kematangan dan kedewasaan dari hasil pendidikan yang telah diterangi petunjuk ilahi (hidayatullah). Motto ini ditanamkan sesudah santri memiliki budi tinggi atau budi luhur dan sesudah ia berpengetahuan luas.